12:03:00 PG
|
by Athifa Rahma
Saya merasakan dunia makin mempercepat laju radiansinya. Saya pikir, ini masih 2009 menuju 2010. Ketika pikiran saya belum dijejali impian-impian yang hampir nyata. Tapi saya salah besar. Ini penghujung 2010 menuju 2011. Beberapa target yang saya kejar tercapai -sampai saya lupa bahwa saya telah lunas terhadap target itu.
Entah cuma saya yang merasakan ini atau ada kah yang lain? Bodohnya, saya masih saja santai. Seolah pergolakan pengejaran target itu tiada. Ruhnya lenyap.
Saya berulangkalinya menuding-nuding diri saya sendiri. Tapi, berulangkalinya saya terperosok di lubang yang sama. Malah menikmati dalamnya perosok yang melesap dalam itu. Saya terlalu terbuai dalam impian. Tapi laku saya sekarat. Hati saya berkarat.
Faghfirlii, robb. Faghfirlii. .
~hitungan detik menyaksikan ikrar perubahan saya. Allah . . . . !
Read More..
12:01:00 PG
|
by Athifa Rahma
2011
adalah bilangan
yang melewati dua milenium
lewat sepuluh
dengan penuh coretan sejarah luka-luka perang kegemilangan panglima berjuta si miskin papa yang disuapi kerontang di pinggiran kota-kota megah yang menyembunyikan orang-orang berdasi anak-anak laki yang berpipi gempal perempuan yang bertubuh sintal daging-daging yang terbuang sebab penyakit liar mematikan
tahun-tahun
telah begitu menua
anak-anak zaman
banyak kehilangan ibunya
-emansipasi sesekali menggerogot mahkota ibu dari perempuan
dan bayi-bayi
tak ingat kalau mereka punya keperkasaan ayah
entahlah,
bahkan cinta hanya tersisa kata-kata. benci menjelma angkara. aku bingung mengeja kasih dengan apa. membilang rindu sedalam apa. 2010 habis tenggelam bersama akhlak yang doyong akidah. korupsi memutilasi hukum peradaban. kolusi nepotisme mengerak di labia kantoran. rakyat menjerit-jerit di bui kolong jembatan. segala kebutuhan melangit maka rakyat melata-merangkak menggapainya. sedang pejabat kotor tertawa menyapa kota-kota angkuh di seberang benua lupa di negaranya memegang hak manusia.
ah,
tapi harapan itu terus selalu ada
tinggal memilih
: diam meratapi bangsa ; berevolusi buat berubah ; atau mati menjadi bangkai sejarah
01012011
kota begitu khidmat membuka awal tahun
Read More..
11:57:00 PTG
|
by Athifa Rahma
malam ini
kemerdekaan bukan milik udara tigapuluh empat derajat
bahkan busurnya
tak sempat membayang
petang dan temaram
05012011
Read More..
11:55:00 PTG
|
by Athifa Rahma
Khidmat
Al-fatihah untuk permulaan sajak ini
dan segenap bumi melesap dalam nadinya
kota senyap lenyap dari symphoni rindu
Angin merembet berkelakar anyir kubangan coklat
dari tepian aspal-aspal menganga
Ladang taman zaitun adalah taman kematian
ribuan mayat pembantaian yang dimahkotai
syuhada
Setiap hari kudapati kabar lewat barisan rapi
koran pagi
dan secangkir kopi amis darah
Tentang nyala mata yang mengobar luapan benci
Korban rubuh sebelum diusung merunduk-runduk mencapai jalan keluar
Sebab timah mendidih mengerami jantungnya
Dan senja bersambut semburat merah
Dari darah muncrat melangit
Petang tumpah setelah nyawa lunas sebagai
bayarannya
Bukan. Petang itu bukan malam
Petang yang berbondong malaikat menyambut
ruh dengan segala kesuciannya
Aku segera menyanyi
Lagu Gugur Bunga
*gugur satu tumbuh seribu …*
Dirapali di selempitan si syahid
Menggapai-gapai langit
Mengetuk ‘arsy
Dan (lagi-lagi)
Aku adalah penonton sejati
Mengantar doa-doa lewat hujan airmata
Apa yang bisa kami beri
Hingga senyummu tak lagi membentur mimpi?
Antara merdeka dan tirani
Tasbih pasir batu pepohon rumah-rumah masjid gereja burung angin sembilu ngilu
Menggeletar semesta seluruh
: bahwa sesungguhnya rezim yang merebut Al-
Quds dari kesuciannya harus dihapuskan dari dunia !
*03012011*
*Saga Palestina mencapai-capai hatiku
Read More..
11:54:00 PTG
|
by Athifa Rahma
aku tak pernah tahu. bahkan tak juga menduga. akan seraut wajah seperti apa dirimu setelah dalam guncangan yang kau saksikan di jalanan bahkan mengobar di ujung matamu. mungkin ini yang kau namakan merayakan hidup. tanpa internet tanpa telepon seluler tanpa sms. dengan lautan gelisah. mungkin banyak puisi baru di antara rakyat yang memberang. tragedi sejarah terangkum jelas dan akan dengan bangga kau ceritakan pada lazuardi kecilmu. tapi, cuma aku namanya yang mesti bersabar menunggu. sebab takdirku memang menunggu. entah dengan kuat debur dada atau hujan yang mendesak. merenyai sunyi.
Read More..
11:51:00 PTG
|
by Athifa Rahma
Ini malam yang kesekian tanpa bintang. Dan tentu saja lengkap dengan derai merenyai yang setia merembeti dinding malam. Pekat, katanya dalam jelaga dalamnya renai tak dapat kau rasakan dinginnya. Katanya dalam bundar bulan kutemui segala binarmu. Tapi bulan palsu. Membias di hampir genap tigapuluh radiansi.
Apalagi yang paling menyiksamu selain malam tanpa derak angin. Rumput tak mungkin bergoyang. Pepohonan gerah dengan segala karbonasi di dalamnya.
Apalagi yang membuat malam kehilangan jiwanya setelah gemintang tenggelam, bulan temaram menghilang, dan tanpa sapaan lembutmu, atau sekedar menanyai kabar padaku.
Apalagi yang membuat malam begitu pedih selain menghadapi kenyataan bahwa esok masih belum kutemui segala nyatamu. Bahwa esok masih kuluruh segala cemas dalam hujan. Bahwa begitu inginnya aku mendengar kau berkata : aku baik-baik saja dengan seluruh degup buatmu.
Semoga baik-baik saja. Selalunya baik-baik saja. Fi amanillah.
31012011
Read More..